Followers

Sunday, 13 October 2013

Pengertian Wayang Madya

Wayang Madya adalah salah satu jenis seni pertunjukan wayang di Indonesia khususnya di Jawa. Bentuk figurnya merupakan perpaduan antara Wayang Purwa dan Wayang Gedog  yakni bagian bawahnya meniru Wayang Gedog (berkain rapekan dan memakai keris).
 
Dinamakan “madya” karena istilah ini dapat diartikan sebagai tengah-tengah atau perantara dari dua hal. Kalau dilihat dari geneologi wayang, wayang madya berada di tengah-tengah antara wayang purwa dan wayang gedhog. Cerita wayang madya diawali semenjak Parikesit anak Abimanyu,cucu Harjuna menjadi raja di Hastina sampai Jayabaya (raja Kediri) wafat.

Wayang Madya diperkirakan lahir semasa jaman K.G.R.A. Mangkunegara IV (1853 –1881),yang berkeinginan mengukuhkan status raja-raja Jawa adalah keturunan langsung para dewa;melalui jalur Pandawa ke atas.

K.G.P.A.A. Mangkunegara IV tertarik dari isi buku Pustaka Raja Madya karangan R. Ng. Ranggawarsita. Mangkunegara ke IV berkeinginan membuat tokoh yang baru untuk mewujudkan isi cerita tersebut dan setelah jadi disebut Wayang  Madya. Dalam manuskrip Wiwit Jawa Ringgit Madya dijelaskan sebagai berikut:
"Miturut ungeling Serat Pakem Madya, pemut nalika Panjenengan dalem Kanjeng Gusti Pangeran AdipatiArya Mangkunegara IV karsa amurwani iyasa ringgit madya, anuju ing dinten Senen Legi, tanggal kaping sanga, wulan Ramelan tahun Je, ga (1) la (7) ya (9) pa (8), sinengkalan Ngesti  Trus Carita Buda. Dumugi mbabar sarta lajeng kagiyaraken wonten tanggal kaping 2, wulan Rabyangulakir, warsa Wawu angka ga (1) pa (8) o (0) ga (1), sinengkalan Iku Kombul Pangesthining Bala).

(Menurut catatan 
Serat Pakem Madya, pada waktu K.G.P.A.A. Mangkunegara IV berkeinginan membuat Wayang Madya, pada waktu itu jatuh hari Senin Legi, tanggal sembilan, bulan Ramelan tahun Je, 1798 Jawa, dengan candrasengkala Ngesti Trus Carita Buda. Setelah selesai pembuatannya kemudian di pentaskan pada tanggal dua bulan Rabingulakir, tahun Wawu, tahun 1801 Jawa, dengan candra sengkala: Iku Kombul Pangesthining Bala).

Dengan munculnya Wayang Madya itu maka ada penghubung antara Wayang Kulit Purwa dengan Wayang Gedog, karena Wayang Madya itu menampilkan lakon dari Parikesit Grogol sampai dengan meninggalnya Prabu Daneswara di Mendang Kamulyan. Dengan demikian ada mata rantai yang menghubungkan mitos raja-raja Jawa dengan para pahlawan dalam epos Ramayana dan Mahabarata.

Selanjutnya Mangkunegara IV tahun 1880 menyusun lakon-lakon Wayang Madya dalam bentuk balungan lakon dan disertai gending untuk iringannya.

Lakon-lakon yang disusun itu antara lain: Lakon 
Babad Mamenang, Pelem Ciptarasa, Narayana Wahya, Kijing Nirmala, Haji Darma, Mayangkara, Singawulung, Merusupadma, Kitiran Mancawarna, Narasingamurti dan sebagainya.

Pakeliran Wayang Madya diiringi dengan gamelan laras slendro dengan gending-gending  yang disusun Mangkunegara IV sendiri. Gending-gending Wayang Madya itu antara lain: gending 
Kepiswara untuk adegan jejer pertama, gending Padmiswara untuk adegan kedatonan, gending Pancaniti untuk adegan Paseban Jawi, gending Runggingcala untuk adegan sabrang raksasa dan sebagainya.

Setelah pada pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939) diadakan beberapa perubahan dalam Wayang Madya.

Perubahan yang mencolok antara lain tokoh panakawan yang semula berpasangan seperti: Jumput dan Cleput, Bados dan Badagos, Capa dan Capi, Dudul dan Dulit, Cabaya dan Satuna, semua itu panakawan kanan. Maka sejak Paku Buwana X, panakawan ter-sebut di atas diganti dengan panakawan Wayang Purwa yakni: Semar, Gareng dan Petruk. Sedangkan panakawan kiri yang semula bernama Wrekangsa dan Wrekasa, diganti dengan Togog dan Bilung. Demikian pula iringannya diganti gamelan pelog dengan gending-gending Wayang Purwa yang dimainkan dalam laras pelog seperti gending
 Karawitan, Titipati, Kedhaton Bentar, Gandakusuma yang berlaras pelog.

Wayang Madya dewasa ini tidak berkembang dan kurang populer karena masyarakat telah mendarah daging terhadap Wayang Purwa. Faktor yang lain Wayang Madya jarang dipentaskan di luar tembok keraton, sehingga masyarakat kurang akrab terhadap genealogi Wayang Madya. Walaupun Wayang Madya tidak populer namun kira-kira tahun 1950-1960 dalang-dalang dari Klaten sering mementaskan lakon Wayang Madya dengan menggunakan Wayang Purwa.

Lakon-lakon yang sering dipentaskan itu antara lain: lakon 
Mayangkara, Sudarsana Kethok,  Umbulsari  Baladewa Mukswa, Bandhung Bandawasa dll.

Dalang-dalang yang mementaskan di antaranya: Almarhum Ki Pujasumarta, Ki Tiksnasudarsa, Ki Pringgawiratma, KI Harjasupana dan Ki Gandawijaya.
Dalam siklus wayang madya ini pula Anoman tokoh dalam siklus Rama mati. Repertoar cerita kethoprak yang terkenal yaitu: Anglingdarma-Bathik Madrim dapat kita jumpai dalam siklus madya ini juga.
Bentuk pertunjukan wayang madya tidak jauh berbeda dengan pakeliran wayang kulit purwa. Perbedaannya terletak pada pengunaan gamelan yang berlaraskan pelog. Repertoar sulukan dan gendhing-gendhing yang digunakan persis wayang purwa yang dialihrasakan dari slendro ke pelog.

Alur cerita wayang madya kurang menarik, disebabkna banyak cakapan (dialog) yang terlalu panjang dan berisi ungkapan kebesaran para moyang mereka, Pandawa. Tokoh-tokoh wayang madya kurang banyak dikenal, mungkin karena bentuk sajiannya yang mirip dengan wayang purwa itu; sedang pakeliran wayang kulit purwa telah lebih dahulu mapan dalam kehidupan orang Jawa.

Seperti halnya wayang gedhog, wayang madya ini sekarang sudah jarang dipergelarkan; apalagi boneka wayang madya tidak banyak kita jumpai di masyarakat luas. Koleksi Wayang madya lengkap hanya terdapat di keraton –keraton.

0 comments:

Post a Comment