Pada zamannya kaum abangan sebagai moyoritas penduduk Jawa yang secara budaya terikat pada bentuk-bentuk seni Jawa aeperti seni Jawa seperti wayang-suatu mitos yang berlandaskan pada ilham-ilham pra-islam (Ricklefs,1991:284), adalah penyanggawayang wong panggung yang potensial. Komunitas penonton semula hanya terbatas dari golongan rakyat jelata, kemudian meluas dari komunitas golongan sosial yang lebih tinggi dan orang-orang terpelajar sesudah Perang Dunia Ke-2 (Koentjaraningrat, 1984:306), bahkan Spekarno yang ketika itu sebagai presiden RI pertama menjadi penggemar berat wayang wong yaitu dengan mengundang pemain seperti Rusman Harjowibakso tokoh pemeran Gatotkaca dari grup wayang wong Sriwedari dan Suwarni seniman wayang wong Ngesti Pandowo yang sering memerankan tokoh Arjuna untuk tampil di istana negara. Gejala ini bagi masyarakat patrimonial memberi pengaruh positip terhadap perkembangan wayang wong panggung pada tahun 1960-an dan menurut Brasndon pada dekade tahun 1960-an terdapat sekitar 20 grup besar yang tersebar di kota-kota besar di Jawa (Brandon, 1967:173). Para juragan wayang wong yang besar di Jakarta melakukan kontrak tertulis tiga bulan dengan fasilitas pelayanan kesehatan cuma-cuma, pembagian beras cuma-cuma, liburan dua minggu yang dibayar setiap tahun, dan seorang aktor dibayar gaji tetap setiap bulan plus bonus apabila yang bersangkutan main sepuluh malam berturut-turut (ibid., 211). Hal yang sama juga dilakukan oleh rombongan wayang wong Ngesti Pandowo pada tahun 1960-an ketika dibawah pimpinan Satro Sabdho. Kondisi ini dapat berlangsung karena pada waktu itu minat penonton sebagai sumber pemasukan dana memungkinkan untuk melakukan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para anak wayang.
III
Tantangan zaman yang berupa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan berbagai alternatif bentuk seni pertunjukan kemasan terutama lewat media dramatik televisi yang lebih memanjakan kepada penonton dalam jangkauan siaran yang sangat luas, merupakan pesaing yang potensial bagi seni pertunjukan tradisional yang cenderung tampil secara konvensional. Secara jujur pentas wayang wong boleh dikatakan tidak mempunyai nilai jual dan masyarakat Jawa atau Indonesia konteporer memiliki kebebasan untuk memilih pertunjukan yang sesuai dengan selera dan kebutuhan mereka. Dewasa ini masyarakat Jawa yang tadinya sebagai penyangga kehidupan wayang wong tampaknya cenderung tidak peduli akan nasib masa depan wayang wong.Krisis penonton menjadi suatu bukti bahwa jenis teater tradisional Jawa ini berada dipersimpangan antara hidup dan mati. Solusinya tergantung dari sikap akomodasitif masyarakat Jawa sebagai penyangga dan sikap pemerintah untuk lebih memberdayakan wayang wong sebagai aset nasional yang harus dipertahankan keberadaannya dalam rangka menjaga identitas nasional dan jatidiri bangsa.
Ketidakberdayaan grup wayang wong yang dewasa ini masih melakukan aktivitasnya untuk menawarkan jasa hiburan kepada masyarakat memberi gambaran adanya kesenjangan budaya antara komunitas seniman sebagai pelaku budaya dengan masyarakat sebagai penyangga kehidupannya. Sebenarnya yang paling mendasar adalah bukan hanya sekedar untuk mampu bertahan hidup, melainkan bagaimana menyiasati strategis bisnis hiburan dalam masyarakat urban yang heterogen dan memiliki banyak pilihan mencari hiburan yang lebih realis-konkrit. Di sini tantangan untuk memberi aspirasi wayang dengan simbolis nya maju ke depan untuk diolah agar generasi-generasi baru yang hidup dengan simbol-simbol baru tetap mampu menagkap lantaran diberitahu melalui komunikasi dan apresiasi (mudji Sutrisno, 1993:38).
Semakin jarak antara generasi wayang dan generasi audio visual lebar, semakin wayang bergeser perannya (Ibid., 35)
Apa yang dikemukakan oleh Mudji Sutrisno ini mengisyarakatkan bahwa media audio visual yang berupa televisi sudah menguasai kehidupan manusia, bahkan peran agama dan keluarga cenderung diganti oleh televisi. Penggalakan apresiasi lewat media televisi dengan menitikberatkan aspek pesan dan nilai wayang yang bersifat tuntunan diharapkan dapat menjembatani jurang komunikasi dalam menangkap simbolisasi, mengingat kesulitan menangkap nilai dan pesan di balik simbol akan menjadi kendala proses identifikasi tokoh-tokohnya. Padahal simbol-simbol generasi sekarang yang hidup di kota-kota sudah berkisar ke angka-angka, tokoh ruang angkasa, matematika komputer serta keasyikan memencet-mencet tombol kode mesin (Ibid.,39)
Sosialisasi wayang wong melalui televisi tidak terbatas pada program pertunjukan, tetapi dapat dibangun juga melalui dialog khusus di televisi secara reguler dan terus-menerus dengan dukungan sponsor. Hal ini dapat diyakini akan menciptakan suasana yang kondusif yang pada gilirannya akan mengangkat kemballi citra kesenian tradisional di mata masyarakat dan akhirnya memberi kontribusi bagi perkembangan dan masa depanwayang wong. Kondisi demikian sudah barang tentu harus didukung kualitas sumber daya manusia yang professional yang mampu melahirkan karya-karya wayang wong yang berkualitas. Guna mendukung kebutuhan sumber daya manusia sudah waktunya untuk didirikan lembaga pendidikan khusus wayang wong, sementara ini lembaga pendidikan menengah dan tinggi kesenian materi wayang wong hanya terbatas sebagai mata kuliah. Terlepas dari permasalahan perlunya lembaga khusus yang mencetak sumber daya manusia di bidang wayang wong, satu hal yang menjadi keprihatinan yaitu belum diakuinya lulusan sarjana S-1 bidang seni tari dan karawitan untuk diterima sebagai pegawai negeri sesuai dengan jenjang kepangkatan dalam lingkungan Dinas Pariwisata Daerah Tingkat II Kodya Surakarta yang membawahi wayang wong Sriwedari. Permasalahan ini sangat penting menjadi perhatian pemerintah untuk dipikirkan secara proposional dan adanya kepastian hukum yang pada gilirannya menyangkut nasib seseorang.Apabila pemerintah mau berpikir realitik, maka dapat dipastikan bahwa lulusan perguruan tinggi seni yang berkualitas akan tertarik untuk menjadi pemain wayang wong Sriwedari mengingat ada jaminan hidup. Dasar pemikiran ini kiranya dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan pemerintah daerah lain yang memiliki grup wayang wong seperti Jakarta dan Semarang. Ini berarti para lulusan pendidikan tinggi seni mempunyai pilihan dalam menentukan profesinya, termasuk menjadi pemain wayang wong.Gambaran demikian di masa depan akan merubah citra pemain wayang wong yaitu seniman intelektual.
Pemahaman konsep seni kitsch yang diisyaratkan oleh Umar Kayam yaitu pertunjukan harus baik, inovatif, glamour, dan spektakuler (Umar Kayam, 1983: 131) kiranya menjadi pertimbangan para seniman wayang wong agar bentuk garapannya memiliki nilai jual, sehingga oihak televisi dan sponsor bersedia untuk melakukan kontrak prestasi. Kondisi ideal ini hanya dapat terwujud apabila didukung oleh kualitas seniman yang profesional dan mampu menangkap serta mengadaptasi perubahan struktur sosial masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya yang menjadi bagian dari masyarakat global.
Sistem ekonomi pasar bebas yang akan diberlakukan pada dasa warsa pertama abad ke-21 di kawasan Asdia-Fasifik jelas akan ikut mempengaruhi perkembangan semua jenis jasa hiburan, termasuk wayang wong. Untuk mengantipasi gejala yang mungkin mempengaruhi perkembangan dan masa depan wayang wong, maka dukungan dana pemerintah melalui skala prioritas perlu diberikan terutama fasilitas sarana dan prasarana gedung pertunjukan yang representatif. Di samping itu, sistem manajemen yang selama ini cenderung bersifat konvensional yang dikotomis antara juragan-pekerja seni harus segera dikembangkan secara profesional sesuai dengan sistem manajemen modern yang padat dengan teknologi dan informasi.Sitem manajemen modern melalui tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi harus dilakukan secara profesional yang dilandasi etos kerja dengan mengutamakan hasil yang maksimal. Memanfaatkan telekomunikasi guna menguasai pasar menjadi dasar pertimbangan untuk membangun produksi manajemen kesenian dalam bersaing dengan jenis jasa hiburan lain, tetapi tetap menjaga kaidah-kaidah estetis dan etis serta simbol-simbol. Seperti dikemukakan Alvin Toffler, bahwa
Komunikasi, di atas segalanya, merupakan aktivitas sosial, bersifat inheren
secara kultural, politis, dan psikologis. Mengadakan regulasi (atau deregulasi )
telekomunkasi demi alasan ekonomis yang sempit sama artinya dengan kehilangan
wawasan kepentingannya yang utama. Telekomunikasi adalah sebagian dari perekat
yang harus menghubungkan kita dalam suatu dunia yang digoyangkan oleh gempa
perubahan dan fragmentasi (Alvin Toffler, 1989: 171).
Krisis penonton yang sedang melanda kehidupan wayang wong sebenarnya disebabkan oleh lemahnya publikasi dalam membangun opini publik, sehingga unsur perekat telekomunikasi menjadi terputus. Sementara masyarakat mendapatkan informasi yang bertubi-tubi lewat media cetak atau elektronik tenatang sesuatu yang tadinya asing, namun karena diinformasikan secara terus menerus akhirnya menjadi bagian dari gaya hidupnya.
Dalam dimensi sosial barangkali masalah penghargaan yang diterima seniman wayang wong relatif rendah yang berdampak pada kehidupan yang memprihatinkan kiranya perlu ditingkatkan. Sebagai contoh kasus di wayang wong Sriwedari Surakarta seorang lulusan sarjana S-1 hanya digaji setiap kali pentas sebesar 2.500 rupiah, jadi satu bulan menerima gaji sekitas 65.000 rupiah, sementara harga beras dewasa ini antara 2000 sampai 3000 rupiah-suatu keadaan yang sungguh memprihatinkan.
Padahal dilingkungan wayang wong Sriwedari sudah diberlakukan status pegawai negeri bagi para senimannya, hanya saja masih ada kendala tentang pengakuan secara formal para lulusan sarjana S-1 dengan kepangkatan golongan III-a. Gejala ini menunjukkan bahwa pihak birokrasi dan kalangan DPRD masih memandang rendah seniman wayang yang berstatus sarjana. Sebenarnya dapat ditempuh jalan keluarnya yaitu status mereka sebagai pegawai Dinas Pariwisata dengan golongan kepangkatan III-a, tetapi tugas pokoknya di unit kerja wayang wong Sriwedari tentu saja hak dan kewajiban sama dengan pegawai yang memiliki ijazah sarjana S-1 di bidang yang lain.
Apabila hal ini diberlakukan, maka dapat dipastikan para lulusan sarjana S-1 bidang seni yang relvan dan memiliki kualitas tertarik untuk menjadi seniman wayang wong.
Ironisnya, kasus wayang wong Sriwedari yang menjual harga tiket rata-rata 1.000 rupiah untuk sebuah pertunjukkan yang memerlukan biaya produksi cukup besar tidak realitis dan pihak manajemen apapun alasannya menunjukkan kesan tidak menghargai seni tradisi. Pepatah mengatakan "ada harga, ada rupa" barangkali ada benarnya, sehingga ketika orang mau melihat wayang wong Sriwedari dengan harga tiket 1.000 rupiah pasti sudah berpikir bahwa bentuk pertunjukan jelek dan tidak layak ditonton. Padahal fasilitas ruang auditorium ber-AC dan didukung tata suara serta cahaya yang baik yaitu bantuan dari pemerintah Jepang. Untuk merubah citra wayang wong Sriwedari dibutuhkan komitmen pihak eksekutif dan dewan perwakilan rakyat untuk melakukan kebijakan secara proposional sebagai wujud kemauan baik dalam memberdayakan wayang wongSriwedari. Di sisi lain dibutuhkan sikap proaktif seniman dan manajemen wayang wongSriwedari untuk bekerja secara profesional, sehingga karya seni memiliki nilai jual dan dihadiri banyak penonton yang pada gilirannya akan membantu mencukupi biaya produksi. Disadari, bahwa keberadaan seni tradisi masih memerlukan subsidi dari pemerintah atau kompnsasi pajak dari perusahaan besar seperti kasus di negara Jerman, Jepang atau Amerika Serikat.
0 comments:
Post a Comment