Followers

Monday, 14 October 2013

Kumpulan Lagu Kawih Hj Ijah Khadijah

Download Mp3 Hj Ijah Khadijah

Wajib Ibadah

Pengertian Wayang Sawah Lunto

Dibuat oleh para petani Jawa yang dibawa ke Deli oleh Pemerintahan Kolonial Belanda. Wayang ini dibuat oleh dua orang yaitu Mbah Ngadi dan Mbah Suratman, th. 1972 dengan bahan dan peralatan yang sederhana

Pengertian Wayang Kulit Purwa Gaya Cirebon

Wayang Kulit Cirebon, hidup dan berkembang bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Cirebon yang dibawa para Wali. Berdasarkan sejarah (babad Cirebon), Pakeliran wayang Kulit pertama di Cirebon dilakukan oleh Sunan Panggung atau Sunan Kalijaga sebagai dalangnya diringi gamelan sekaten Cirebon. Dari pengaruh ajaran agama yang dibawa Wali Sanga   itulah sehingga muncul tambahan tokoh panakawan menjadi sembilan yakni : Semar, Curis, Bitarota, Ceblok, Dawala, Cungkring, Bagong, Bagal Buntung, dan Gareng. Kehadiran sembilan panakawan ini didasarkan pada lambang Wali Sanga, hal ini disebabkan masyarakat Cirebon percaya bahwa awal  keberadaan agama Islam di Indonesia  ini karena jasa-jasa para Wali Sanga. 

Dengan semakin eratnya hubungan maka antara pakeliran wayang kulit Cirebon dengan kehidupan masyarakatnya, seni lukis wayang cirebonpun ikut berkembang. Hal tersebut terjadi karena hasil seni lukis wayang tidak hanya dibutuhkan dalang sebagai alat pagelarannya, tetapi juga diminati oleh masyarakat penggemarnya untuk dipajang dan dinikmati keindahannya.

Pakeliran Wayang Cirebon sampai sekarang masih bertahan hidup walau perkembangannya sangat lamban. Kehiduan Wayang Cirebon ini tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat setempat untuk melaksanakan upacara-upacara adat antara lain:
  1. Sedekah Bumi, dengan menampilkan lakon Bumi Loka.
  1. Mapag sri, dengan menampilkan lakon Sri Sedana.
  1. Barikan, dengan menampilkan lakon Barikan.
  1. Nadran (sedekah laut) menampilkan lakon Budug Basu dll.
Pengaruh dari kondisi masyarakat yang demikian tersebut menimbulkan semakin besarnya minat masyarakat untuk mengapresiasi pakeliran wayang maupun seni lukis wayang sebagai imbasnya



Wayang Purwa Gaya Yogyakarta

Pada masa Kraton Kasunanan Surakarta diperintah Sri Susuhunan Paku Buwana II tahun 1755, berdirilah Kasultanan Yogyakarta sebagai pecahan  dari Kraton Kasunanan Surakarta dengan Raja Sri Sultan Hamengku Buwono I (Hasil Perjanjian Giyanti 1755). Sejak saat itulah lahir wayang gagrak Yogyakarta. Dengan berdirinya pemerintahan dan tata wilayah baru tersebut  dirasakan perlunya suatu bentuk seni budaya baru dan nilai-nilai tersendiri sebagai identitasnya. Maka dibuatlah wayang gagrak Yogyakarta yang mengacu pada gagrak Kedu, yang didalam perkembangannya kemudian disertai percepatan (akselarasi) yang cukup berarti, sehingga kira-kira akhir abad ke 19 bentuk wayang gagrak Yogyakarta ini sudah seimbang dengan bentuk wayang gagrak surakarta.

Perbedaan wayang Gaya Yogyakarta dengan daerah lain

Yang membedakan wayang gaya Yogyakarta dengan gaya lain khususnya dengan gaya Surakarta antara lain adalah :
  1. Untuk Gaya Yogyakarta, postur tubuhnya lebih gemuk, gaya Surakarta lebih ramping.
2. Wayang Yogyakarta menunjukkan dalam posisi bergerak, hal ini terlihat dalam posisi telapak kakinya yang belakang agak berjinjit, seolah-olah akan berjalan gaya Surakarta statis.

Tradisi Pewayangan gaya Yogyakarta paling tidak secara nyata dalam bentuk serta diwadahi dalam lembaga semi formal adalah pada tahun 1925 ditandai dengan adanya lembaga kursus rencana calon dalang yang terkenal dengan sebutan Habiranda di bawah panji kraton Yogyakarta. Walaupun diketahui secara umum sebelumnya juga telah ada pewayangan di luar kraton yang sering dikenal dengan tradisi pewayangan gayapedesaan. Artinya gaya pewayangan yang telah lama diwarisi oleh para dalang yang semakin jauh jaraknya dari kraton, maka bentuk gaya pewayangannya pun akan menunjukkan variasi tersendiri. Pengakuan keberadaan yayasan Habiranda hingga sampai saat ini dari masyarakat dalang maupun pemerhati tetap menganggapnya sebagai institusi yang mapan dan manjadi acuan budaya wayang di wilayah Yogyakarta.

Sebagai langkah pembinaan para dalang di wilayah Yogyakarta, pihak kraton sejak tahun 1955 mengeluarkan kebijakan, dengan mengijinkan diselenggarakannya pementasan rutin di Kagungan Dalem Gedung Sasana Hinggil Dwi Abad. Pihak lain pun tertarik untuk mendukung prakarsa ini, yaitu Harian Umum Kedaulatan Rakyat bersama-sama RRI Nusantara II Yogyakarta.

Pengertian Wayang Banjar

pendapat para pakar budaya maupun praktisi wayang di Banjarmasin, menyatakan bahwa Wayang kulit Banjar berasal dari wayang kulit purwa yang ada di Jawa. Namun secara ilmiah sulit ditelusuri, kapan wayang kulit purwa dari Jawa tersebut masuk ke Banjarmasin.
Ada informasi tertulis tentang asal mula masuknya wayang kulit purwa ke Banjarmasin yang terdapat dalam Hikayat Lambu Mangkurat. Hikayat Lambu Mangkurat ini diperkirakan ada sebelum tahun 1815 dalam bentuk oral, sebelum disalin ke dalam buku. Pada tahun 1815, atas perintah Raffles kepada Sultan Pontianak diadakan penyalinan Hikayat Lembu mangkurat. Pada tahun 1815 J.J. Meyer juga mengadakan penyalinan Hikayat Lambu Mangkurat.
Dalam Hikayat Lambu Mangkurat diceritakan, Raden Sekar Sungsang anak Kabu Waringin dari kerajaan Dipa setelah dewasa pergi ke pulau Jawa. Kerajaan Dipa ini berada di daerah Amuntai Hulu Sungai Utara, dikenal daerah Candi Agung. Selama di pulau Jawa, R. Sekar Sungsang mempelajari berbagai seni budaya, antara lain : seni wayang kulit purwa, tari topeng dan karawitan. Setelah mampu menguasai ketiga kesenian tersebut, Sekar Sungsang kembali ke Banjarmasin dengan membawa segala alat pendukungnya yakni : satu tabela (peti) wayang, satu tabela (peti) topeng dan satu set (pajak) gamelan.
Di Banjarmasin, Sekar Sungsang mulai mengembangkan kemampuan seninya. Langkah pertama yang dilakukan Sekar Sungsang ialah mengajarkan seni karawitan. Setelah dipandang mampu, Sekar Sungsang mempergelarkan seni wayang kulit purwa.
Cerita dalam Hikayat Lembu Mangkurat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa R. Sekar Sungsanglah yang pertama kali membawa seni budaya wayang kulit purwa ke Banjarmasin, namun waktunya tidak disebutkan kapan R. Sekar Sungsang ini ke pulau Jawa dan kapan kembalinya ke Banjarmasin? Dalam Hikayat Lembu Mangkurat tidak disebutkan apa tujuan sebenarnya R. Sekar Sungsang ke pulau Jawa, dan di kota/kerajaan mana yang dituju serta kepada siapa ia belajar kesenian?
Menurut Suwedi Montana yang mengutif dalam Hikayat Banjar menyatakan bahwa terdapat tiga episoda yang berkenaan dengan pertunjukan wayang dan upeti berbentuk wayang yakni :
  1. Episode ketika Lambu Mangkurat datang ke Majapahit untuk mencari calon mempelai laki-laki bagi Putri Junjung Buih. Ia disambut dengan berbagai pertunjukan diantaranya : barwayang wong (wayang orang), barwayang purawa (wayang purwa) dan barwayang gadogan (wayang gedog).
  2. Episode perkawinan antara Pangeran Suryanata dari Majapahit dengan putri Junjung Buih di Nagara Dipa. Dalam peristiwa itu ada pertunjukan keramaian tujuh hari tujuh malam, di antaranya : barwayang wong, barwayang gadogan dan barwayang purawa.
  3. Episode ketika Ki Mas Lalana yang memberikan hadiah bermacam-macam barang kepada Raja Putri Kalungsu, di antaranya wayang gadogan satabla (satu terbela, satu peti/satu kotak), wayang purawa satabla, dan wayang topeng satabla. Ki Mas Lalana sebenarnya adalah putra Putri Kalungsu itu sendiri yang melarikan diri ketika masih berusia 6 tahun karena kepalanya dipukul oleh ibunya dengan senduk juwadah. Ia pergi ke Surabaya dan setelah dewasa kembali ke Banjarmasin dalam hal ini negara Dipa, ikut bersama Dampuawang. Ia bersedia dikawinkan dengan Putri Kalungsu, selanjutnya terjadi musibah mirip dengan cerita sangkuriang Jawa Barat.

Pendapat lain mengenahi masuknya wayang ke Banjarmasin adalah pada zaman Demak. Menurut tradisi, Banjarmasin diislamkan oleh Khatib Dayan seorang penghulu Demak. Pertama kali yang diislamkan adalah R. Samudra, yang kemudian setelah menjadi muslim bergelar Sultan Suriansyah. Islamisasi itu sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh Raden Samudra. Sultan Demak bersedia membantu menggempur Pangeran Tumanggung, paman R. Samudra, dengan syarat R. Samudra bersedia masuk Islam (J.J. Ras, 1968 : 428). Islamisasi yang diceritakan dalam tradisi itu bersifat anakronistis, sebab R. Samudra memerintah pada tahun 1595-1620 (Iduar Saleh, 1960 : 102). Pada masa itu Kesultanan Demak tidak berdaya lagi karena sudah dua kali pindah ke Pajang dan Mataram. Masa itu sejaman dengan pemerintahan Panembahan Senapati di Mataram (1586-1601). Apabila benar pengislaman atas Banjarmasinn itu dilakukan oleh penghulu Demak bersama laskarnya, maka hal itu bertentangan dengan situasi pada saat itu. Kesultanan Demak sudah tidak berfungsi, sehingga tidak mungkin mengirimkan pasukan kecuali atas perintah dari Panembahan Senapati Mataram. Dalam peristiwa islamisasi yang diikuti oleh kekuatan militer itu bukan mustahil bahwa militer Jawa membawa seni pertunjukan wayang yang kemudian populer di Kalimantan Selatan.

Dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan, seni tradisional khususnya wayang Banjar memiliki peranan yang sangat penting, selain sebagai alat hiburan juga digunakan sebagai alat pendidikan dan penerangan serta untuk upacara-uparaca ritual seperti upacara sampir atau batatamba yang lebih bersifat magis religius.

Unsur Cerita/Lakon

Pada wayang Banjar terdapat tiga sumber pakem lakon/cerita yakni : Pakem Mahabharata, Pakem Kaling dan Pakem Ramayana. Disamping ketiga pakem di atas para dalang lebih banyak memainkan lakon carangan yang diambil dari cerita dalam syair, hikayat atau kisah. Pada permulaan abad ke 20, Kalimantan Selatan merupakan pusat sastra klasik Banjar yang berkembang ke luar daerah antara lain Kutai di Kalimantan Timur. Penyair dan penulis hikayat menggunakan bahasa sastra Melayu tetapi dialek banjarnya kerap dipakai bila dalam syair itu muncul panakawan yang sedang melucu dan berpantun. Jenis syair dan hikayat yang masih dikenal pada permulaan abad ke 20 antara lain : hikayat Indra Bangsawan, syair Brama Syahdan, syair Madi Kencana, syair Tijadewa, syair Siti Zubaidah, syair Umi Kalsum, syair Abdulmuluk, syair Nyiur Kuning, syair Kelapa Tindan.

Aspek Bahasa

Bahasa Banjar pada dasarnya adalah bahasa Melayu tetapi sudah bercampur dengan bahasa Jawa dan bahasa Dayak. Bahasa Jawa yang masuk ke dalam bahasa Banjar berasal dari abad XVI yaitu bahasa Jawa Tengahan (Poerbatjaraka, 1952 : 57). Kata-kata dari bahasa Jawa yang diserap dalam bahasa Banjar tidak hanya kata-kata istilah melainkan justru kata-kata budaya (cultural words) yang erat dengan kehidupan sehari-hari seperti : ulun (saya), sempiyan (anda), kaula (saya), andika (anda), dan ungkapan serta sintaksis Jawa. Orang akan heran mendengar ucapan mengedelon yang berasal dari kata ka-dalu-an (Jawa) artinya terlambat atau kadaluwarsa, padahal dalam bahasa Jawa kadalon berarti ranum untuk buah. Demikian pula kata undamana di dalam bahasa Jawa sudah menjadi bahasa archais dalam kasusastraan. Dalam bahasa Banjar undamana dalam kata taundamana (ta-ter) berarti disia-siakan. Sebagai gambaran mengenahi betapa besarnya pengaruh bahasa Jawa dalam bahasa Banjar dapat dilihat dalam Hikayat Banjar. Hikayat Banjar itu terdiri atas 4784 baris kalimat tetapi kata-kata Jawa yang terdapat di dalamnya sebanyak 4614 buah yang terdiri dari 2257 kata dasar, 548 nama diri dan 2357 kata jadian yang berasal dari kata dasar tersebut.
Melihat besarnya pengaruh bahasa Jawa dalam bahasa Banjar barangkali wayang Banjarpun merupakan salah satu manifestasi pengaruh budaya Jawa di sini. Memang dalam wayang Banjar dipergunakan bahasa Melayu banjar dan bahasa Kawi. Tetapi bahasa kawi yang diucapkan oleh ki dalang Banjar itu sudah tidak jelas lagi meskipun masih bisa ditelusuri asal-usulnya. Hal itu mudah dipahami sebab bahasa kawi adalah bahasa asing bagi mereka dan setelah berabad-abad bisa saja ucapannya bergeser dan bertambah sulit dimengerti bahkan ki dalang itu sendiri sudah tidak tahu arti dari bahasa kawi yang diucapkan. Ungkapan-ungkapan kawi itu sudah menjadi pola dalam konteks cerita yang tak dapat dihindarkan. Misalnya dalam pergelaran pada saat kalah perang ki dalang akan berlagu :”Murdur kapilayu.....”. Ungkapan itu jelas berasal dari mundur kaplayu-mundur kalah. Atau ada ucapan ki dalang : “Sigra ka tuminga...” pada waktu adegan di medan perang. Kalimat itu jelas tidak lengkap sebagaimana aslinya sigra bala kang tumingal-segera tampaklah bala tentara.
Dialog wayang Banjar mempergunakan bahasa Banjar tetapi pada sebutan-sebutan yang bersifat kekeluargaan dipergunakan bahasa Jawa. Misalnya dialog antara Arjuna dengan Sembadra di bawah ini:

Arjuna : Adingmas, kakangmas handak tulak ka Amarta handak menghadap kakangmas Puntadewa. Kakangmas handak meminta pitunjuk beliau gasan menghadapi gawi besar.
Sembadra : Kakangmas, ulun kada handak ditinggal, ulun handak lumpat lawan sampian manghadap kakangmas Puntadewa jua.



Artinya :

Arjuna : Adinda, kanda akan pergi ke Amarta akan menghadap kakanda Puntadewa akan mohon petunjuk beliau untuk menghadapi pekerjaan besar.
Sembadra : Kakanda, hamba tidak mau ditinggal, hamba akan ikut dengan kakanda menghadap kakanda Puntadewa juga.

Pengertian Wayang Sasak

Wayang Sasak adalah pemberian nama terhadap wayang kulit yang berkembang di Lombok Nusa Tenggara Barat. Wayang kulit di Lombok diperkirakan masuk bersamaan dengan penyebaran agama Islam. Sedang Agama Islam masuk Lombok pada abad 16 yang dibawa oleh Sunan Prapen putra dari Sunan Giri. Ada juga yang berpendapat bahwa wayang di Lombok diciptakan oleh pangeran Sangupati.  Ia adalah seorang mubalig Islam.

Cerita wayang di Lombok pada dasarnya mengambil cerita Menak yang berasal dari Persia yang masuk ke Indonesia melalui tanah Melayu lalu masuk ke Jawa dan tersebar sampai ke Lombok. Cerita-cerita ini ditulis di atas daun lontar dalam bahasa Jawa dengan huruf Jejawan (huruf Sasak). Cerita Menak ini ditulis sesuai dengan peristiwanya seperti : Bangbari, Gendit Birayung, Bidara Kawitan, Selandir, Dewi Rengganis dan sebagainya.

Pada mulanya,  wayang kulit Sasak dipergelarkan sebagai media dakwah. Selanjutnya, dipergerkan pula untuk upacara adat, seperti khitanan, cukur rambut, dan s
ebagainya. Disamping sebagai hiburan, pada saat ini wayang di Lombok mempunyai peranan sebagai sarana dakwah dan sarana  pendidikan moral serta sebagai sarana media komunikasi untuk menyampaikan program-program pembangunan.

Pengertian Wayang Jawa Timur

Istilah wayang Jawa Timuran ialah konvensi pertunjukan wayang Kulit di wilayah Brangwetan artinya di seberang timur daerah aliran Sungai Brantas yang secara geografis mengacu pada wilayah pusat pemerintahan Majapahit tempo dulu. Daerah yang dimaksudkan adalah Kabupaten Mojokerto, Jombang, Surabaya (Kodya), eks karisedenan Malang (Malang, Pasuruhan, Probolinggo dan Lumajang). Istilah Jawatimuran ini diperkirakan muncul sesudah tahun 1965 dan semakin populer sekitar tahun 1970 –an seiring dengan didirikannya Pendidikan Formal Sekolah Karawitan Konservatori Surabaya.
Tentang istilah yang digunakan untuk menyebut seni pedalangan atau pewayangan di Jawa Timur, sebenarnya di Surabaya khususnya, telah memiliki istilah yang telah lama popular yaitu dengan penyebutanWayang Jekdong suatu istilah yang bersumber dari bunyi kepyak (=Jeg) yang berpadu dengan bunyi kendhang bersama Gong Gedhe. Ada lagi yang menyebut Wayang Dakdong bunyi kendhang dengan bunyi gong besar, yang terjadi ketika sang dalang melakukan kabrukan tangan (berantem) di awal adegan perangan. Namun istilah tersebut tak bisa  merata di seluruh kawasan etnis Jawa Timuran ( di luar kota Surabaya ) karena sebutan tadi timbul bukan dari para seniman dalang itu sendiri tapi dimungkinkan istilah lama itu timbul dari suara penonton, konon istilah ini dilansir oleh dalang terkenal Ki Nartosabdo. Justru bagi dalang yang lebih tua, mendengar sebutan wayang jekdong atau dakdong merasa direndahkan (diejek). Seni Pedalangan Jawa Timuran/Wayang Jawa Timuran itu sendiri, apabila ditinjau secara garis besar, mengenai bahan, peralatan, penampilannya secara fungsional tidak berbeda jauh dengan Seni Pedalangan versi daerah lain (Surakarta, Yogjakarta). Namun secara detail perbedaan-perbedaan itu pasti ada, baik seni rupa wayang, karawitan, cerita maupun penampilan yang berselerakan kedaerahan
Secara teritorialnya Seni Pedalangan Jawatimuran dapat dibagi menjadi 4 versi kecil yakni :

  • Versi Lamongan meliputi Kabupaten Lamongan dan sekitarnya, sering disebut gaya pasisiran .
  • Versi Mojokertoan, meliputi Kabupaten Jombang, Kabupaten Mojokerto dan sekitarnya.
  • Versi Porongan, meliputi daerah Kabupaten Sidoarjo, Surabaya dan sekitarnya.
  • Versi Malangan, meliputi Kabupaten Malang dan sekitarnya.

Ke-4 versi tersebut mempunyai ciri-ciri yang berbeda, namun perbedaannya sangat kecil, kecuali versi Malangan yang setiap penyajian tidak bisa melupakan gamelan pelognya.
Ciri Wayang Jawatimuran
Ada enam ciri khas wayang Jawatimuran yakni :
  • Iringan musik gamelan disajikan dalam empat pathet yakni pathet sepuluh, pathet wolu, pathet sanga dan pathet serang.
  • Fungsi kendang dan kecrek sebagai pengatur irama gending amat dominan. Kultur wayang Jawa Timuran dipilah dalam beberapa subkultur yang lebih khas, mengacu ke estetika etnik (keindahan tradisi lokal) yakni subkultur Mojokertoan, Jombangan, Surabayan, Pasuruhan dan Malangan.
  • Konvensi pedalangan Jawa Timuran hanya menyajikan dua panakawan yakni Semar dan Bagong. Konvensi ini taat pada cerita relief candi Jago Tumpang cerita Kunjarakarna, punakawan hanya dua Semar dan Bagong. Dalam seni tradisional yang lain, punakawan juga dua orang yakni Bancak dan Doyok atau cerita Damarwulan hanya dua yakni Sabdopalon dan Naya Genggong.
  • Dalang Jawa Timuran tidak menyajikan adegan Gara-Gara secara khusus yakni munculnya Semar, Gareng, Petruk dan Bagong pada tengah malam. Kemunculan punakawan dan adegan lawak disesuaikan dengan alur cerita atau lakon yang dipentaskan.
  • Bahasa dan susastra pedalangan Jawa Timuran amat dominan didukung oleh bahasa Jawa dan dialek lokal Jawa Timuran. Maka munculah bentuk sapaan Jawa Timuran, misalnya arek-arek, rika, reyang.
  • Pada awal pertunjukan ki dalang mengucapkan suluk PelunganSuluk Pelungan terkait dengan doa penutup pada adegan tancep yang diucapkan ki dalang yang isinya
    • ki dalang memperoleh berkah dan keselamatan dalam menggelar kisah kehidupan para leluhur.
    • pemilik hajat semoga dikabulkan permohonannya, niat yang suci/tulus dalam selamatan tersebut.
    • Para pendukung pertunjukan wayang (para pengrawit, biyada, dan sinoman) serta semua penonton selalu rahayu, selamat sesudah pementasan tersebut berakhir

Seni Pedalangan Jawa Timuran atau Wayang Jawa Timuran, pada masa sekarang ini memang boleh dikata tidak hidup subur. Ia hidup dalam kawasan etnis seni budaya daerah Jawa Timuran, di antaranya di wilayah Kabupaten Jombang, Mojokerto, Malang Pasuruan, Sidoardjo, Gresik, Lamongan dan di pinggiran kota Surabaya. Ini pun sebagian besar berada di desa-desa, bahkan ada yang bertempat di pegunungan. Dengan masuknya seni budaya dari luar akan berpengaruh  besar terhadap masyarakat untuk tidak mencintai seni budaya daerah setempat. Dalam hal ini terutama kesenian daerah Jawa Timur dengan mudah akan tersingkir minggir, atau setidak-tidaknya akan menghambat kesenian daerah setempat di dalam pelestarian berikut pengembangannya.
Atas dasar pengaruh-pengaruh seperti tersebut diatas, maka tidak sedikit orang menyatakan bahwa hal  itulah yang akan mempercepat proses kemunduran  sementara orang mengkhawatirkan terhadap kepunahannya, bila tidak ada usaha-usaha pembinaan dari  pihak yang berwenang  atau yang merasa handarbeni. Hanya usaha pembinaan itulah yang diharapkan oleh para seniman  dalang Jawatimuran, yang sebagian besar terjadi dari rakyat kecil. Namun rupa-rupanya pembinaan yang diharapkan itupun masih juga langka, sehingga seni wayang Jawa Timuran  tersebut dalam kehidupan seolah-olah hanya bisa berjalan dengan sendirinya, tanpa pengayoman dari siapapun. Instansi Pemerintah  di Jawa Timur yang setiap saat mengadakan suatu pergelaran wayang Kulit purwa gaya Jawa Timuran adalah baru RRI stasiun  Surabaya saja. Ini pun disebabkan  oleh suatu tugas wajib yang harus dilakukan RRI dalam rangka mengisi siaran kesenian daerah, yang hanya diperuntukkan bagi pendengaran  masyarakat Jawa Timuran. Pergelaran-pergelaran yang pengadaannya secara rutin itu patut kita junjung tinggi, namun hal ini belum merupakan suatu  pelestarian, sebab sesuai pertunjukan tanpa ada bekas-bekasnya. Tak ada lagi pembicaraan, perenungan ataupun permasalahan apa-apa, lebih-lebih sampai pada pembinaan.

Pengertian Wayang Suluh


Orang-orang yang termasuk dalam Generasi Baru Angkatan Muda RI dan tergabung dalam Badan Konggres Pemuda RI di Madiun tahun 1947 telah berusaha menciptakan wayang suluh sebagai sumbangan kepada perjuangan pada waktu itu. Wayang Suluh yang diciptakan Badan Konggres Pemuda tersebut telah melepaskan diri dari tradisi wayang-wayang sebelummnya dan cukup representetatif untuk memberi penerangan mengenahi dasar dan tujuan revolusional Indonesia. Disebut wayang suluh karena fungsi pokok wayang ini lebih ditekankan bagi kepentingan penerangan (sesuluh).


Pergelartan wayang suluh yang pertama diselenggarakan pada 10 Maret 1947 bertempat di Gedung Balai rakyat Madiun Jawa Timur, dihadiri oleh wakil-wakil : partai, Badan,jawatan, salah satu diantaranya hadir wakil dari Kementrian Penerangan Yogyakarta. Dalam pergelaran tersebut diadakan suatu sayembara pemberian nama jenis wayang baru itu, hasilnya bernama Wayang Suluh seperti sekarang, sebelumnya diberi nama wayang Merdeka.

Pada masa awal kemerdekaan wayang ini cukup popular, pada masa itu wayang suluh sangat besar perannya untuk menggalang persatuan.Sekarang, cerita wayang suluh beralih untuk kepentingan pembangkitan semangat dan gairah pembangunan; khususnya untuk daerah-daerah pedesaan yang jauh dan/atau belum terjamah media-media komunikasi modern.
Bentuk atau wujud boneka wayang suluh masih sangat wadag.Artinya kurang ada penggarapan wayang sebagai sarana ungkap kesenian, sehingga masih realistis. Hal ini wajar karena memang difungsikan sebagai media penerangan. Wayang suluh ada pula yang menamakan wayang Pancasila. sebab wayang ini lahir sekitar tahun 1947, yang mana pada waktu itu Pancasila perlu segera disebarluaskan ke masyarakat luas; sebagai dasar negara.

Tokoh yang digunakan menunjukkan tokoh-tokoh pejuang seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, ada pula yang menggambarkan tokoh-tokoh Belanda., Jep[ang, tentara Gurka dan tentara Pelajar kita, semua dilukiskan persis mernurut keadaan sebenarnya.



Musik yang digunakan dalam pergelaran wayang suluh bisa berupa gamelan, orkes, atau musik yang disenangi oleh masyarakat setempat. Lagu-lagunya ada yang klasik dan ada pula lagu menurut jamannya,misalnya lagu-lagu Selabinta, Pasir Putih, lagu-lagu Mars Pemuda, Sorak-sorak bergembira dan sebagainya.

Penyebaran

Pemasyarakatan  wayang suluh kemudian dilaksanakan oleh berbagai pihak.Pada waktu Dewan Pimpinan Pemuda (DPP) seluruh Jawa dan Madura mengadakan konperensi (tanggal 1 april 1947), telah membagi 52 stel Wayang suluh kepada para wakil DPP. Dengan demikian oleh DPP di  masing-masing daerah, cabang, wayang Suluh terus dikembangkan dan disebarluaskan sebagai alat penerangan dan alat penghibur yang sederhana tetapi dapat menambah wawasan rakyatnya.
Kementrian Penerangan Pusat, pada tanggal 2 Nopember 1947 telah berusaha untukmengadakan demontrasi wayang suluh bertempat  di Bangsal Kepatihan Danurejan Yogyakarta dengan dalang Ki Probohardjono dengan diiringi gamelan yang dipimpin Ki  wasitadipura atau lebih dikenal dengan sebutan Pak Tjakra beserta kawan-kawannya. Pergelaran tersebut dihadiri sekiatr 700 orang di antaranya Presiden Sukarno dan para menetri, pembesar-pembesar militer dan sipil dan beberapa ahli kebudayaan. Atas perintah Bung Karno, presiden RI, peristiwa tersebut dikemas da;am sebuah lukisan oleh pelukis terkenal Dullah. Sampai sekarang lukisan pagelaran wayang suluh tersebut masih disimpan di Museum  Dullah Solo. Menurut Ki Probohardjono,sekotak wayang suluh pertama  kira-kira 30  buah yang dibuat dan dipakainya di Kepatihan Danurejan Yogyakarta telah dibawa ke Warsawa untuk ditampilkan pada Word International Youth Confference. Oleh karenanya,ia membuat Wayang suluh lagi untuk keperluan pagelaran selanjutnya, ada yang dari kulit, karton, ada pula yang dari tripleks, dan ada yang dari kayu.

Ketika berlangsung Konperensi Jawatan Penerangan seluruh Jawa Tengah di Magelang pada tanggal 18 Nopember 1947, diadakan demontrasi wayang suluh yang dihadiri oleh 3000 tamu, diantaranya Menteri Penerangan. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1947, Kementrian Penerangan Pusat telah membentuk Staf Kementrian Penerangan Pusat Djawatan Publiciteit bagian penerangan Rakyat Urusan Wayang Suluh dan wayang Beber, berkedudukan di Madiun.

Atas usaha Kemetrian Penerangan pada tanggal 23 April 1948 di Istana Presiden di Yogyakarta, diadakan demontrasi wayang suluh yang dihadiri sekitar 500 orang tamu, antara lain Presiden Sukarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Menteri Luar Negeri Agus Salim, beberapa Menteri lainnya, beberapa anggota KNIP, pembesar-pembesar Militer dan sipil serta 3 orang wartawan luar negeri. Setelah kegiatan ini ditindaklanjuti oleh Kementrian Penerangan memutuskan  untuk menggunakan wayang suluh sebagai alat penerangan rakyat. Untuk tujuan tersebut Kementrian Penerangan mengaluarkan biaya besar guna membeli stelan wayang suluh dan membiayai pertunjukannya,mengangkat pegawai dalang wayang suluh,mengadakan penyelenggaraan kursus-kursus pedalangan dan lain sebagainya.


Sejak awal perkembangannya, lakon-lakon wayang suluh bukan berasal dari cerita wayang purwa, tetapi sengaja dibuat dari sempalan-sempalan kejadian revolusi. Misalnya, proklamasi 17 agustus 1945, Sumpah Pemuda, Perang Surabaya 10 Nopemebr , Naskah Perjanjian Linggar Jati, Perjanjian Renville, Sang Merah Putih dan sebagainya. Oleh karena itu tokoh-tokoh dalam wayang suluh adalah Bung Tomo, Bung karno, Bung Hatta, Sutan Syarhrir, DR Mustopo, Ki Mangunsarkoro, haji Agus salim, Dr. Sam Ratulangi, Walter Munginsidi, Van Mook, Van der Plas, jenderal spoor dan lain-lain.

Pengertian Wayang Golek Lenong

Wayang Golek Lenong Betawi diciptakan oleh Tizar Purbaya pada tahun 2000. Pria kelahiran Banten tahun 1950, berdarah Betawi yang kini tinggal di Sunter Jakarta Utara. Cerita wayang Golek Lenong Betawi diangkat dari berbagai legenda/kisah pahlawan Betawi dan cerita rakyat. Dalam pertunjukan menggunakan bahasa Betawi dengan gaya nglenong yang penuh guyon dan banyolan.

Wayang Golek Lenong Betawi dipentaskan pertama kali pada tanggal 10 April 2001 di hadapan Bapak Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta, bertempat di Galangan Kafe VOC. Semenjak itu undangan mendalang wayang Golek Lenong Betawi pun sampai ke berbagai Negara di dunia, antara lain adalah di Washingtton DC pada tahun 2002, dan di Edo City, Jepang di tahun 2004.